Rabu, 25 Agustus 2010

LESSONS FROM CHILDREN

Pernah kalian bertengkar dengan orang tua, teman atau mungkin dengan pacar? Kalian pernah mendengar disela-sela kemarahan itu kata-kata seperti “lo jangan bersikap kayak anak kecil donk!” atau “childish banget sich lo!” biasanya kita merespon marah jika dikatakan telah bersikap kayak anak kecil. Kita menganggap kita sudah dewasa dan menjadi anak kecil itu menjengkelkan. Saya sendiri pernah dikatakan telah bersikap childish karena marah akan sesuatu dan sebuah sebuah pikiran aneh melintas dalam benakku. Andai aku anak kecil, aku pasti dengan mudah memaafkan orang-orang.

Ya,kita yang secara perlahan beranjak menjadi dewasa mulai meninggalkan sifat anak kecil yang ada dalam diri kita. Kita tidak mau disebut anak kecil. Atas dasar apa? Apakah karena anak kecil yang hanya bisa bergantung kepada orang lain? Apakah karena anak kecil memiliki sikap manja yang berlebih? Ya, sikap seperti ini membuat orang dewasa kadang kesal kepada anak kecil. Apalagi jika anak kecil mengeluarkan senjata terakhirnya, tangisan. Kita mulai memarahi anak kecil jika mereka mengeluarkan senjata terakhir mereka. Saat itu kita akan bersyukur tidak menjadi anak kecil lagi. Ini akan tampak memalukan jika kita merengek-rengek. Tapi tidak tahukah kalian, kita orang dewasa belum tentu lebih baik dari anak kecil. Kadang, kita perlu belajar dari anak kecil.


Anak kecil, dengan kepolosan mereka bisa memberi pelajaran baru kepada kita, para manusia dewasa. Pernahkah kalian memperhatikan saat anak kecil bertengkar dengan teman mereka? Biasanya mereka akan berkata, “udah, aku ngga mau lagi berteman dengan kamu” tetapi selang beberapa jam dari pertengkaran itu mereka malah bermain bersama lagi. Apakah kita seperti itu? Kita bertengkar dengan sahabat kita, bertengkar dengan pacar kita dan kadang berakhir dengan kebencian. Saat seperti itu kita malah menjadi bermusuhan, saling berjauhan, saling menjatuhkan, saling menghina. Masing-masing berusaha membenarkan diri dan tidak mau meminta maaf terlebih dahulu. Dia yang salah, bukan aku, kenapa aku yang harus minta maaf? Itu yang sering kita pikirkan. Apakah menjadi dewasa berarti tidak mudah memaafkan, bahkan membenci orang? Pelajaran pertama dari anak kecil. Mudah memaafkan dengan tulus dan tak menyimpan dendam.


Pernahkah kalian melihat anak kecil berbagi sesuatu dengan sahabatnya? Suatu kali aku pernah melihat seorang anak yang menbagi kue yang dipunyainya kepada teman temannya. Pada saat berbagi, aku mendengar anak itu berkata, “Kamu dikit aja ya, soalnya kemarin kamu cuma kasih aku dikit” Ini bukan menunjukan kepelitan seorang anak kecil, tetapi ini menunjukan cara anak kecil memberikan balasan untuk apa yang diterimanya. Jika dia mendapat banyak, dia akan membalas banyak, jika mendapat sedikit, ia akan membalas sedikit. Ini bukan hanya masalah ‘kue’ tetapi ‘cara membalas’ sesuatu, tidak terbatas pada sesuatu yang berwujud benda, tetapi dalam hal yang lebih luas. Bagaimana dengan kita, orang dewasa? Tanpa disadari, kita kadang berbagi sesuatu bukan untuk membalas apa yang kita dapat, tetapi mengharapkan balasan atas apa yang kita berikan. Anak kecil tidak pernah berpikir seperti itu. Dan untuk membalas perbuatan orang lain pada kita? Jika perbuatan baik, kita membalas perbuatan baik itu tetapi dengan perhitungan. Tapi perbuatan jahat? Kita sering membalas berkali lipat. Atau orang berbuat baik pada kita tapi kita malah memanfaatkan kebaikan orang itu. Apakah menjadi dewasa itu berarti membalas dengan memperhitungkan keuntungan untuk diri kita, memanfaatkan kebaikan orang lain, membalas kejahatan dengan kejahatan, bahkan berkali lipat. Pelajaran kedua dari anak kecil, ‘membalas’ sesuai dengan yang diterima bukan sekedar mengharapkan ‘balasan’ dan memanfaatkan.


Pernahkah kalian memperhatikan kepolosan seorang anak kecil? Mereka sering kali berkata jujur tanpa memperhatikan sekitarnya. Jika mereka tidak suka mereka akan mengatakan tidak, begitupun sebaliknya. Walaupun kadang kejujuran mereka bisa membuat kita malu. Bagaimana dengan orang dewasa? Kadang kita berusaha menutupi beberapa fakta yang sebenarnya. Dengan alasan apa? Takut menyakiti hati orang lain dengan kebenaran? Atau hanya mencari selamat untuk diri kita karena jika kita mengatakan kebenaran itu, maka kita bisa dimusuhi? Ayolah, memang kita bukan lagi anak kecil yang bisa ceplas ceplos seenaknya tetapi bukan berarti kita tidak bisa mengatakan kebenaran bukan? Semakin dewasa kita mulai mengembangkan pikiran kita sebelum mengambil keputusan. Oleh karena itu, sebelum mengatakan kebenaran kita harus hati-hati memilih kata untuk menyampaikan kebenaran. Apakah menjadi dewasa berarti hidup dalam kebohongan dengan alasan menjaga perasaan atau menyelamatkan diri atau alasan lainnya. Pelajaran ketiga dari anak kecil, Kejujuran merupakan nilai yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.


Apakah kalian pernah kesal pada anak kecil ketika mereka membombandir anda dengan berbagai pertanyaan? Ya, rasa ingin tahu anak kecil terlalu tinggi sehingga kadang kita kesulitan untuk menghadapinya. Apapun yang terlintas dalam benak mereka akan mereka tanyakan walaupun itu kadang terdengar sepele. Bagaimana dengan orang dewasa? Entah mengapa, jika diperhatikan rasa ingin tahu orang dewasa makin menurun. Fenomena apa ini? Apa karena sudah semakin dewasa maka kita merasa kita yang paling tahu? Sepertinya, makin tinggi jenjang pendidikan maka pengetahuannya makin spesifik. Tapi ini bukan berarti kita tidak membutuhkan rasa ingin tahu bukan? Ingat ‘Rancho’ salah satu karakter di film 3 Idiots? Begitu haus dengan pengetahuan. Selama ini kita belajar dengan menghafal bukan memahami. Ingat film 3 idiotas. Akibat fatal dari menghafal. Semakin dewasa kita maka keingintahuan kita harusnya lebih tinggi karena kita lebih memberdayakan pikiran kita. Apakah menjadi dewasa berarti menurunnya rasa ingintahu karena merasa sudah tahu? Pelajaran keempat dari anak kecil, rasa ingin tahu yang tak terbatas akan menjadi modal awal kita.


Perhatikan anak kecil. Betapa bahagianya mereka, tertawa, tersenyum dan bergembira bersama teman-temannya. Kadang menangis tapi selalu kembali tersenyum dan melupakan kesedihannya. Bagaimana dengan kita orang dewasa? Sepertinya, semakin dewasa, kita semakin melupakan cara bersenang-senang. Sering kali, saat melihat anak kecil terpikir oleh kita betapa bahagianya mereka tanpa harus memikirkan sesuatu. Ya kuliah ah, tugas lah, sekolah lah, kerjaan lah dan sebagainya. Ayolah, yang membuat kita terbeban dengan segala aktivitas kita adalah karena kita terlalu memikirkannya, terlalu mengkhawatirkan semua hal. Pekerjaan itu bukan untuk dipikirkan tapi pekerjaan membutuhkan pemikiran. Cobalah nikmati semuanya sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan sebagai beban. Cintai apapun yang anda lakukan maka itu bukan lagi menjadi beban bagi anda tetapi sesuatu hal yang menyenangkan. Dahulu seseorang sangat gemar menulis. Apapun ditulisnya, puisi, cerpen, novel dan apa saja. Sampai suatu hari hobbynya menjadi pekerjaan. Dia sangat menikmati pekerjaannya itu, tapi lambat laun dia mulai tertekan, deadline lah, kehabisan ide lah. Dia mulaih mengeluh, mulai terbeban dengan pekerjaannya. Ia menjadi mudah emosi, siapa saja yang dekat pasti jadi sasaran kemarahannya. Tahukah kalian mengapa orang tersebut menjadi stress dengan kerjaannya? Ia sudah melupakan bagaimana rasanya saat dia bersenang-senang dengan menulis. Dia melupakan perasaan awalnya ketika menulis pertama kali. Dia melupakan kegembiraannya saat masih menekuni menulis sebagai hobby. Ia telah melupakan bagaimana menikmati menulis. Apakah dewasa berarti melupakan cara bersenang-senang dan terlalu mengkhawatirkan segala hal? Pelajaran kelima dari anak kecil, enjoy your life!


Anak kecil belum mengenal apa itu cinta seperti kita orang dewasa. Tapi mereka telah menunjukan kasih sayangnya kepada orang-orang yang disyanginya. Orang tua, sahabat, saudara. Berbagai hal yang mereka tunjukan untuk mengekspresikan hal tersebut. Satu hal yang saya sadari, cinta mereka tulus dan murni. Bagaimana dengan orang dewasa? Kita mencintai orang lain dengan menggunakan standar tersendiri, harta, tampang atau lainnya. Kita kadang melupakan cinta murni dan tulus itu seperti apa. Menurut saya pribadi, anak kecil mencintai orang-orang yang dekat dengannya karena dia merasa nyaman berada didekat mereka, merasa terlindungi. Tidak bisakah kita mencintai orang lain seperti itu? Apakah menjadi dewasa berarti melupakan cinta tulus dan murni? Pelajaran keenam dari anak kecil, cinta yang tulus dan murni adalah mencintai apa adanya bukaran hanya karena siapa dan bagaimana dia, tetapi siapa dan bagaimana anda jika berada didekatnya.


Ya, belajarlah dari anak kecil. Kekurangan mereka, kelebihan mereka, ketulusan mereka akan membantu anda menjadi lebih dewasa. Ya, memang beberapa hal tentang mereka tidak perlu kita tiru tetapi banyak hal yang bisa membuat mereka lebih baik dari kita, orang dewasa bukan?


Become old is must, but become mature is own decision

Tidak ada komentar:

Posting Komentar