Minggu, 04 Oktober 2009

PATH OF LIFE...


Mataku menyapu sekelilingku, memandangi tempat yang bagiku sangat asing ini. Otakku yang lambanpun berusaha untuk mencerna keadaan ini. Aku memandang kebawah sambil berpikir, dan mataku menyadarkanku ternyata aku sedang berdiri disebuah jalan setapak. Saat aku mendongak dan memandang ke depan, dan aku harus menyipitkan mataku agar dapat melihat ke depan. Sejauh mata memandang hanya kabut putih yang terbentang dihadapanku. Kabut putih yang lebih tebal dari asap yang bersumber dari kebakaran hutan di Kalimantan sangat mengganggu pemandanganku. Kabut brengsek! Makiku dalam hati. Kemudian aku memutuskan untuk melangkah ke depan menembus kabut yang menghalangi pandanganku. Aku tak mau berdiam diri seperti orang bodoh disini. Saat aku melangkahkan kaki ke depan, perlahan kabut didepanku menghilang perlahan-lahan. Ini aneh, setiap aku melangkahkan kaki, kabut menghilang. Aku semakin bernai melangkah terus. Tiba-tiba otakku memerintahkan aku untuk menghentikan langkahku dan tentu saja aku berhenti. Setelah membiarkan kabutnya menghilang, sebuah jembatan gantung terbentang di depanku. Saat aku bingung, apakah cukup aman untuk menyebrangi jembatan tersebut? Kesannya jembatan itu terkesan rapuh untuk menopang berat badanku. Yah, walupun aku tergolong ringan. Aku menghilangkan segala kekhawatiran yang ada di hatiku. Dengan gagah aku melangkah menembus jembatan itu. Saat aku tiba diseberang, tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras. Jembatan tersebut telah menghilang ke angkasa, seolah tersedot sesuatu. Dan ketika aku kembali memandang ke depan sekarang aku dihadapkan kepada jalan garpu empat. Dan masing masing jalan itu diawali dengan jembatan. Aku hanya berdiri didepan keempat jalan tersebut, kebingungan kearah mana yang harus ku pilih.

Cukup lama aku berdiam diri di depan keempat percabangan jalan tersebut. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih jalan yang kanan. Ketika baru saja melangkahkan kakiku, tiba-tiba sebuah suara memperingatkanku
“Hati-hati dalam memilih jalan nak.”
Aku menoleh untuk melihat siapa yang berbicara kepadaku. Ternyata seorang kakek yang sudah sangat tua, menurut perkiraanku, berusia 100 tahun. Berdiri di depan jalan yang berada ditengah.
“Hati-hati? Mengapa kek?” aku bertanya heran
“Apakah kamu tidak tahu jalan yang kamu lalui ini?” Si kakek balik bertanya heran.
“Tidak…” aku menjawab dengan santai
Si kakek itupun tertawa. Tentu saja hal itu membuatku heran.
“kenapa kakek tertawa?” aku bertanya heran. Menurutku jawaban yang ku berikan sudah benar. Jawaban yang singkat itu telah cukup mewakili ketidaktahuanku. Apa sang kakek berharap aku mengeluarkan jawaban yang terdengar lebih ilmiah?
“Kamu memang tidak memperhatikan apapun selama melangkah ya?”
Aku malas menjawab pertanyaan tersebut, jawaban yang sama seperti sebelumnya akan membuatnya kembali tertawa.
“coba lihat ke belakang” kata kakek tersebut sambil tersenyum.
Dan akupun mengikuti perintah orang tua tersebut. Aku ternganga melihat sebuah layar lebar menjulang tinggi dibelakangku. Saat memperhatikan itu layar itu aku menjadi tersentak.
“Hei! Itu aku yang tadi!!” Seruku
Layar itu memperlihatkan keadaan saat aku melewati jembatan pertama dan seterusnya. Aku memandang kembali kepada kakek tadi dengan wajah yang menunjukan keheranan. Aku menunggunya memberikan jawaban untuk keherananku ini.
Path of life…” kata kakek itu.
Path of life? Jalan kehidupan? Aku masih bingung mendengar perkataan kakek tersebut. Aku terus berdiam diri, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Kehidupan di dunia ini diawali dari kelahiran dan diakhiri dengan kematian.” Kakek itu memulai penjelasannya
“ Sang waktu adalah penghubung awal dan akhir itu. Waktupun membentuk banyak jalan untuk menuju kepada sang akhir, kematian. Jalan yang tercipta itu disebut path of life. Kamu, hanya perlu berjalan mengikuti jalan ini dan membuat pilihan-pilihan jalan yang mana akan kamu tempuh.” Jelasnya
“Jadi, jika aku tidak melangkah, kematian tidak akan menyentuhku?” aku bertanya dengan tampang bodoh sambil memandang keempat jalan yang ada di depanku.
“hahahahahaha… tak ada yang bisa lolos dari kematian. Seperti yang ku katakan, waktu adalah penghubungnya. Walaupun kamu berdiam disini, sang waktu pasti akan mengantar kematian kepada dirimu.”
Aku kembali memandang keempat jembatan tersebut yang tentu saja masih tertutup kabut sambil memikirkan penjelasan sang kakek. Aku menoleh kembali kepada kakek tersebut dan mengajukan pertanyaan dengan harapan dia tak akan menertawakan pertanyaanku lagi.
“ Kek, jika waktu juga telah membentuk banyak jalan untuk ku tempuh mengapa semuanya tertutup kabut?”
Kakek itu kembali tertawa.
Apa aku begitu bodoh sampai harus ditertawai berkali-kali? Aku hanya menunjukan rasa ingin tahu yang besar. Aku kembali teringat kepada seorang penemu besar, Thomas Alva Edison yang ditetawai dan di anggap bodoh karena keseringan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menurut orang dewasa tak perlu dipertanyakan. Aku tersenyum sendiri.
“Apakah kamu akan senang menerima sebuah hadiah atau kejutan yang telah kamu ketahui isinya terlebih dahulu?”
Sekarang giliranku yang tertawa mendengar pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang tak berhubungan pikirku.
“Kalau kita sudah tahu isinya terlebih dahulu, itu namanya bukan hadiah ataupun kejutan kek.” Jawabku sambil tertawa
“Jalan kehidupan juga seperti itu. Jalan itu seperti hadiah dari TUHAN dan hadiah yang diberikan sangat banyak dan kamu hanya diperkenankan memilih satu.”
Jawaban yang sanggup membuat tenggorokanku tersekat sehingga tak bisa lagi mengeluarkan tawa.
“TUHAN telah menyiapkan banyak hal pada salah satu jalan yang kamu pilih. Entah itu kesedihan, cobaan, godaan kebahagiaan dan sebagainya. TUHAN memberikan kebebasan untuk dirimu mau menjalani hidup yang seperti apa. Tapi itu semua yang akan menentukan tempat yang akan kamu tempati saat penghakiman terakhir” Kakek itu memberi penjelasan lanjutan
Aku terdiam karena menyadari maksud yang terkandung dalam perkataan itu. Aku memandang kembali kepada keempat jembatan yang ada dihadapanku.
“Ingat! Jalan manapun yang kamu pilih, kamu tak akan pernah bisa mengulang pilihanmu itu sendiri” kata kakek itu.
Tentu saja hal itu membuatku tersentak. Aku masih terpaku memandang keempat jembatan tersebut. Setelah cukup lama aku berdiam diri, aku memutuskan untuk duduk, sambil melemaskan kaki. Jalan mana yang harus kupilih? Apakah aku mempunyai kekuatan untuk menghadapi apa saja yang akan hadir dihadapanku? Bagaimana jika aku gagal? Apakah aku sudah siap untuk semua kemungkinan-kemungkinan itu?
Aku tak tahu berapa lama aku berdiam di depan jalan-jalan itu. Kantukpun mulai menyerangku. Ketika mataku perlahan-lahan mulai tertutup sebuah suara mengelegar dibelakangku
“Hei! Sampai kapan kamu akan berdiam diri disini? Apakah kamu akan menunggu sampai sang kematian menjemputmu dan hidupmu menjadi sia-sia?”
Aku tersentak bangun mendengar suara sang kakek.
“Kamu telah berdiam diri selama 12 jam!”
Aku menghela nafas panjang dan menjawab, “Aku ragu untuk membuat keputusan. Aku belum siap untuk menghadapi apapun yang ada di depanku.”
“Lemah!! Hanya seorang pecundang yang tak berani membuat keputusan!!” bentak kakek itu
Aku terkesiap mendengar bentakkan dari kakek itu. Suara yang menyambar bagi petir, membuatku terjaga.
“tapi bagaimana aku bisa menghadapi misteri yang ada dibalik kabut itu?”
“Apa kamu hidup sendirian di dunia ini? Apa kamu tidak mengandalkan Sang Pencipta? Dimana imanmu Hah?!”
Nada suara yang seperti auman singa itu menyentakku dari kebodohanku.
“Apa kamu mau menyia-nyiakan hadiah terindah dari TUHAN?!”
Benar! Aku tidak sendiri di dunia. Mengapa aku tidak memikirkannya? Dan lebih dari itu, aku memiliki TUHAN yang luar biasa, teman-teman, keluarga yang setia. Aku lalu bangkit berdiri dan tersenyum simpul. Setelah memandangi keempat jalan tersebut,aku menundukkan kepala dan sebait doa terucap tanpa kata-kata dalam hatiku. Sambil menegakan badan aku berlari kearah jembatan di sebelah kananku menembus kabut yang menutupnya.
Di kejauhan samar-samar terdengar teriakan sang kakek memperingatkanku, “Hati-hati!! Di depan sana masih banyak persimpangan-persimpangan lainya! Serahkan pada TUHAN untuk menuntun langkahmu!”
Aku terus berlari menembus kabut dengan senyum tersungging karena aku sadar, TUHAN pasti menyertai langkah hidupku. Aku menyadari, di Path of life ini, setiap pilihanmu akan menentukan kearah mana hidupmu berjalan. Membuat pilihan jalan kehidupanmu sangatlah sulit, kadang menimbulkan keraguan, tapi jangan ragu tuk melangkah. Apapun jalan yang kau tempuh buatlah itu menjadi bermakna bersama Seluruh umat manusia.
Life is only travelled once,
Today’s moment become
Tomorrow’s memory….
Enjoy every moment,
Good or bad,
Because the gift of life is life itself…

Path of life, Aku akan membuatmu bermakna sampai aku tiba kepada sang akhir.
***END***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar